KOMPAS.com - Berbisnis, apakah dalam skala besar maupun kecil, selalu penuh pesona. Big is powerful, but small is beautiful, begitulah ungkapan populer tentang bisnis itu.
Bisnis
besar, sebutlah pertambangan dengan skala amat luas, seperti batubara,
emas, dan minyak bumi, sangat memesona. Laba bersih per tahun
bisnis-bisnis tersebut selalu sekian triliun rupiah.
Bisnis
perbankan dalam skala besar juga dahsyat, senantiasa di atas Rp 7,5
triliun. Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia, dan Bank Central Asia
meraup laba bersih jauh di atas Rp 7,5 triliun. PT Astra Internasional
juga merengkuh laba bersih yang tidak main-main, Rp 10 triliun per
tahun.
Dengan laba yang fantastis ini, perusahaan-perusahaan
raksasa tersebut bisa berbuat banyak, baik dalam menginvestasikan
kembali labanya, meningkatkan kesejahteraan karyawan, ataupun kontribusi
untuk publik. Akan tetapi, bagaimana dengan perusahaan dengan skala
lebih kecil, atau perusahaan yang menjual produk dengan harga ”amat
murah”?
Sepintas lalu susah membayangkan perusahaan yang menjual
komoditas yang murah meriah dapat memiliki omzet luar biasa. Namun,
dengan gebrakan pasar yang menakjubkan, dengan strategi pemasaran yang
mengesankan, ternyata banyak korporat mampu menembus pasar hingga ke
dusun, bahkan menerobos jauh pasar luar negeri yang ekstra ketat.
Lihatlah
misalnya beberapa produk Grup Enesis, di antaranya Adem Sari. Minuman
ringan yang menyegarkan ini ”hanya” dijual dengan harga Rp 1.200 per
saset. Namun, jangan anggap enteng minuman ini. Omzet per tahun Adem
Sari mencapai Rp 1,05 triliun.
Atau simaklah Soffel yang dijual Rp
500 per saset. Omzet krim lembut antinyamuk ini hampir menembus angka
Rp 700 miliar per tahun. Begitu pula dengan Kispray. Cairan untuk
memperlancar setrika, omzetnya setengah triliun rupiah. Atau Antis,
antiseptic yang biasa digunakan sehabis makan atau memegang benda tidak
bersih, omzetnya tidak di bawah Rp 60 miliar per tahun.
Chief
Executive Officer Enesis Bambang Soendoro menyebutkan, mereka melihat
dan mencermati gelagat pasar. Mereka mencari tahu apa sebetulnya yang
diinginkan pasar, komoditas seperti apa yang dibutuhkan, serta berapa
harga yang pas. ”Dari survei itu, kami menyentuh masyarakat golongan
menengah ke bawah atau masyarakat yang ”dikendalikan” budget harian dan
mingguan,” ujar Bambang di Jakarta, pekan lalu.
Bambang
menambahkan, sudah banyak korporat bermain di wilayah berskala besar.
Mereka menjual barang dengan harga di atas Rp 25.000. Maka, Enesis
memilih bermain di wilayah yang belum banyak pemainnya. Strategi ini
cukup berhasil sehingga omzet sejumlah produk mencapai angka melegakan.
Bambang
Soendoro tidak berlebihan. Kalau harga Adem Sari hanya Rp 1.200 per
saset, itu berarti Enesis menjual 833 juta saset per tahun (asumsi omzet
Rp 1 triliun). Ini tentu angka yang fantastis. Kalau lebih
dikonkretkan lagi, penjualan Adem Sari bisa mencapai 70 juta saset per
bulan, atau 2,3 juta saset per hari, atau 100.000 saset per jam.
Tentu
tidak hanya kinerja produk Enesis yang meyakinkan. Produk dari
perusahaan lain juga menawan, misalnya dari Grup Garudafood, yang mampu
menjual kacang hingga ke lima benua. Omzet grup ini pun triliunan
rupiah. Atau produk lain, seperti Kuku Bima. Harga per dus (isi enam
saset) dijual Rp 5.200. Artinya, 1 saset tidak sampai Rp 1.000. Omzet
Kuku Bima dan beberapa produk sejenis tidak kalah mentereng dengan
Enesis dan Garudafood.
CEO Grup Garudafood Sudhamek Agoeng
menyatakan, para pebisnis komoditas dengan harga terjangkau memang
rata-rata memetik laba tipis. Maka, salah satu jalan yang baik adalah
meraih pasar yang sangat luas, omzet yang besar. Itu salah satu sebab
ia melebarkan jangkauan usahanya hingga ke lima benua.
Pesan yang
bisa diambil dari masalah ini adalah menjual produk yang murah
harganya belum tentu tidak menghasilkan hasil besar. Sepanjang produk
itu terjaga mutunya, mudah dijangkau pasar, dan pemasarannya cerdas,
produk pasti disukai publik. Produsen lain bisa menarik hikmah dan
komparasi dari hal ini. (Abun Sanda)
http://www.kompas.com
No comments:
Post a Comment
comment